RealEstat.id (Jakarta) - Praktik debitur nakal yang berupaya menghindar dari tanggung jawab penyelesaian utang, ditenggarai berlangsung saat maraknya kasus PKPU/Kepailitan seperti saat ini.
Para kreditur, terlebih lagi kreditur yang tagihannya besar seperti perbankan, harus waspada karena langsung berdampak kepada nasib penyelesaian piutangnya. Untuk itu, bank harus segera melakukan langkah mitigasi risiko terhadap aksi debitur nakal ini.
Modus Debitur
Debitur nakal melakukan aksinya dengan modus berusaha mengajukan permohonan PKPU/Kepailitan terhadap dirinya lewat kreditur lain. Debitur yang tidak memiliki itikad baik ini, berusaha menghindar dari kewajiban penyelesaian utang yang besar kepada bank dengan cara mengajukan permohonan PKPU/Kepailitan di pengadilan niaga.
Baca Juga: Patuhi Aturan Perlindungan Data Pribadi atau Kena Sanksi!
Dalam rapat-rapat kreditur, mereka mengajukan proposal perdamaian dengan usulan debitur bersedia menerima potongan kewajiban denda, bunga bahkan pokok utang. Mereka merasa percaya diri kreditur bersedia menerima usulan itu karena ada kegamangan dari kreditur apabila debitur berada dalam keadaan pailit.
Mereka sengaja tidak mengajukan sendirinya ke pengadilan niaga, karena persyaratannya lebih ribet. Selaku debitur di bank, mereka juga menyepakati adanya larangan untuk mengajukan permohonan kepailitan atas diri sendiri di pengadilan niaga yang dikenal dengan larangan-larangan bagi debitur (negative covenant) dalam perjanjian kredit.
Mereka berusaha menjaga hubungan dengan kreditur bank yang memberikan pinjaman yang jumlahnya cukup besar, sehingga menjadi tidak pas apabila hal itu dilakukan secara terbuka.
Baca Juga: Penting Diketahui: Risiko Legal Bank Digital
Namun kreditur yang mengajukan permohonan PKPU/Kepailitan terhadap debitur ini sesungguhnya adalah boneka dari debitur. Tagihan dari kreditur lain ini besar kemungkinan sengaja dibuat untuk kepentingan itu padahal sesungguhnya tidak ada.
Bisa pula tagihan ini benar adanya tetapi sudah “diselesaikan” oleh debitur, namun tetap menjadikan tagihan itu sebagai underlying sehingga kreditur yang mengajukan lebih sebagai boneka saja.
Dalam hal terjadi kepailitan terhadap diri debitur mereka juga merasa tidak merasa kehilangan (nothing to lose) karena sudah semakin besarnya debt equity ratio (DER) yang mereka miliki. DER adalah perbandingan antara jumlah utang dengan modal yang dimiliki perusahaan. Semakin besar prosentase DER maka semakin besarlah utang debitur kepada kreditur.
Baca Juga: Nasabah Peminjam dalam PKPU, Bank Bisa Berbuat Apa?
Kerugian Bank
Praktik menghindar kewajiban utang melalui mekanisme pengajuan PKPU/Kepailitan ini sebenarnya realitas yang sudah lama. Silakan saja ditelusuri praktik sejarah penegakan hukum pada masa berlakunya Faillisstments Verordenning sesuai Staatsballads nomor 276 tahun 1905 jauh sebelum berlakunya UU Kepailitan dan PKPU produk pemerintah RI.
Bank harus waspada atas modus debitur nakal yang berupaya menghindar dari kewajiban utang. Oleh karenanya bank harus jeli mengidentifikasi potensi risiko ini. Hasil monitoring ketat yang dilakukan bank akan memperlihatkan gejala adanya potensi risiko hukum PKPU/Kepailitan.
Dalam hal debitur nakal berhasil mengajukan permohonan PKPU/kepailitan sesuai skenarionya maka bank dirugikan. Nasib pengembalian kewajiban debitur berupa denda, bunga dan pokok menjadi terancam. Bank selaku kreditur harus bersaing dengan para kreditur lain yang mengajukan tagihan secara bersamaan dalam rapat kreditur dengan agenda verifikasi dan pencocokan utang.
Baca Juga: Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat
Meskipun bank memiliki jaminan kebendaan berupa hak tanggungan, fidusia atau gadai haknya untuk melakukan eksekusi dalam kekuasaannya, haknya sebagai pemilik jaminan kebendaan menjadi terdagradasi. Bank hanya dapat melakukan eksekusi setelah berakhirnya debitur dalam masa PKPU yang jangka waktunya sampai dengan 270 hari.
Hak bank sebagai kreditur seperatis untuk melakukan eksekusi ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Bank hanya memiliki kesempatan untuk mengeksekusi objek jaminan melalui penjualan di muka umum selama dua bulan.
Ketentuan-ketentuan dalam UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mendegradasi kepentingan kreditur seperatis ini membuat bank menjadi dirugikan. Sementara UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah sudah memberikan perlindungan kepada bank.
Baca Juga: Solusi Skema Penjualan Aset Bagi Perusahaan yang Terjerat PKPU
Upaya Recovery
Bank selaku kreditur patut mempertimbangkan upaya pemulihan kerugian (recovery) atas piutangnya yang belum diselesaikan debitur. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengikuti proses rapat-rapat kreditur dalam persidangan PKPU/Kepailitan Niaga.
Salah satu di antaranya adalah dengan mengoptimalkan kepentingan bank dalam skema penyelesaian utang dalam proposal perdamaian yang diajukan debitur. Bank dapat pula melakukan gugatan lain-lain apabila kepentingan hukum bank selaku kreditur dirugikan.
Selain lewat mekanisme pengadilan niaga, bank patut mempertimbangkan pemulihan kerugiannya lewat jalur pidana dengan menganalisis lebih jauh untung ruginya. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membuat laporan pidana terhadap debitur yang nakal bahkan terhadap pihak-pihak yang bersekongkol melakukan kejahatan adanya tagihan fiktif. Langkah hukum berupa laporan pidana bukan hanya tindak pidana umum tetapi juga tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Artikel ini Ditulis oleh: Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH. Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.