RealEstat.id (Jakarta) – The HUD Institute menyatakan dukungan terhadap langkah Pemerintah dan DPR yang akan menerbitkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Kendati demikian, The HUD Institute tetap memberikan sikap kritis terhadap RUU tersebut.
Menimbang dengan lebih dalam, The HUD Institute pun membuat kajian hukum dan analisis korelasi, serta menyelenggarakan forum diskusi membahas substansi RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan pemangku kepentingan, khususnya terkait sektor Kawasan Perkotaan yang berkelanjutan, yaitu ketersediaan hunian layak, sehat dan terjangkau bagi Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Secara prinsip The HUD Institute mendukung RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Namun, untuk kesempurnaannya, kami terpanggil untuk kemudian menyampaikan masukan dan sejumlah rekomendasi. Khususnya mengenai sektor perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan,” tutur Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute.
Terkait RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang dalam Paragraf 9 mengenai Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (termasuk permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan), menurut Zulfi memerlukan pengembangan dalam kebijakan hukum (legal policy) dan rumusan norma pasal-pasal perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan dengan mengintegrasikan pendekatan Lima Komponen dasar Hak Bermukim (5 KDHB) dan lima Komponen Dasar Aset Komunitas (5 KDAK) dengan 12 Klaster RUU Cipta Kerja Omnibus Law.
5 KDHB itu adalah: (1) Tata Ruang dan Lingkungan Hidup; (2) Penyediaan Tanah (Lahan dan Secure Tenure); (3) Pembiayaan dan Penjaminan (termasuk pendanaan, pajak, retribusi dan sebagainya); (4) Infrastruktur Dasar (termasuk energi); dan (5) Teknik, Teknologi dan Pemanfaatan Komponen/Bahan Bangunan Strategis.
Sedangkan 5 KDAK yaitu (1) Tanah; (2) Bangunan; (3) Infrastruktur Dasar; (4) Kegiatan Ekosob; dan (5) Pelayanan Publik (Sarana: Sosial, Ekonomi & Umum).
“Masukan tertulis secara resmi sebelumnya sudah kami sampaikan dalam bentuk Policy Brief kepada Ketua DPR RI, MPR dan DPD RI. Namun kami juga berharap dapat diundang dan memberikan masukan secara langsung kepada Badan Musyawarah/Panitia Khusus Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang telah/akan dibentuk oleh DPR-RI,” kata Zulfi, berharap.
Dengan demikian, imbuhnya, The HUD Institute akan bisa memaparkan dengan lebih rinci lagi, masukan terkait Daftar Inventaris Masalah (DIM) di sektor perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu.
Zulfi menharapkan, kehadiran UU ini kelak bisa melindungi menjamin dan memastikan Hak Bermukim Rakyat sesuai pasal 28 UUD 1945, khususnya MBMB, MBR (Formal dan Non Formal), MPS, dan MFM di Kawasan Perkotaan/Perdesaan serta termasuk juga bagi masyarakat menengah – ke atas.
Delapan Masukan HUD Institute
Dalam siaran pers yang
diterima RealEstat.id, HUD Institute memberi
sejumlah masukan
penting terkait RUU Cipta Kerja,
khususnya mengenai sektor perumahan rakyat, permukiman dan
pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan:
1. Perlunya menyeimbangkan pencapaian pembangunan perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan yang menyentuh dan memperhatikan konsumen Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM), dan dunia usaha (produsen dengan turunan-turunannya) sebagai amanat Pasal 28H ayat (1) UUD RI tahun 1945 sebagai bagian dari pengaturan dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law);
2. Perlunya harmonisasi dan semakin mengokohkan kelembagaan dan urusan Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pengembangan/Pembangunan Kawasan Perkotaan cq. perumahan bagi Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) sebagai urusan konkuren Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota;
3. Perlunya menguatkan dan meluaskan kewajiban dan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memberikan bantuan dan kemudahan bagi perumahan Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) dengan mengembangkan ketentuan Pasal 54 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Pasal 15 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
4. Perlunya memastikan ketentuan pembentukan badan bank tanah (land bank) untuk penyediaan tanah bagi perumahan Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) sebagai solusi terpenting dalam mengatasi kekurangan rumah (backlog), rumah tidak layak huni, dan kawasan kumuh guna meraih kesejahteraan sosial nasional perumahan;
5. Perlunya mengembangkan kelembagaan badan pembangunan perumahan rakyat (public developer) sebagai garda terdepan dalam penyediaan perumahan Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) yang diamanatkan Pasal 39 dan Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2011;
6. Perlunya mengembangkan kebijakan hukum yang mewajibkan penataan ruang daerah untuk wajib menetapkan zonasi bagi perumahan Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM);
7. Perlunya kebijakan hukum yang meluaskan alternatif pembiayaan perumahan Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM) (baik konvensional maupun syariah) yang mengalami hambatan akses ke sumber daya pembiayaan; dan
8. Perlunya menguatkan perlindungan bagi produsen dan konsumen dan/ Masyarakat Menengah Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS) dan Masyarakat Fakir Miskin (MFM), serta meluaskan peran serta/ kerjasama (partnership) masyarakat, dunia usaha/ swasta dengan pemerintah (Public, Private, Peoples Partnership/PPPP).