RealEstat.id (Jakarta) - Pasar properti Tanah Air menyambut baik kebijakan penghapusan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk rumah di bawah Rp2 miliar dan pengurangan PPN 50% untuk rumah Rp2 miliar – Rp5 miliar. Namun, relaksasi PPN yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK/010/2021 tersebut masih menyisakan sejumlah catatan.
Indonesia Property Watch menyoroti aturan relaksasi PPN yang hanya berlaku untuk rumah yang terbangun dan siap huni sampai batas waktu 31 Agustus 2021. Artinya, rumah harus ready stock atau diupayakan terbangun sampai periode berakhir.
Baca Juga: Kebijakan Uang Muka KPR 0% Tak Bikin Konsumen Tertarik
Pembangunan rumah umumnya dilakukan selama rentang enam bulan. Misal, bila ada unit yang terjual pada bulan Maret, maka pengembang akan segera membangun sampai selesai pada bulan Agustus.
Lantas, bagaimana bila penjualan terjadi pada bulan Mei atau setelah itu? Pasalnya, pengembang tidak akan sanggup membangun dalam periode yang sempit. Pengembang juga tidak akan mengambil risiko membangun banyak unit—apalagi dalam kondisi sulit seperti saat ini—sebelum ada pembeli.
Oleh karena itu, kebijakan relaksasi PPN hanya menguntungkan pengembang yang memiliki rumah ready stock, namun tidak dapat mengangkat potensi daya beli masyarakat lain yang ingin membeli properti secara inden.
Baca Juga: Potensi Tinggi, Ini 8 Alasan Properti Harus Dapat Stimulus dari Pemerintah!
“Pemerintah diharapkan dapat lebih memahami kondisi di lapangan, dan tidak dibatasi aturan harus terbangun sampai 31 Agustus 2021. Karena ini dikhawatirkan menjadikan aturan ini tidak akan berjalan lancar ke depan dan hanya dinikmati oleh pengembang yang memiliki banyak rumah stock. Di sisi lain penjualan properti inden pasti malah akan tertahan,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa aturan rumah siap huni ini dibuat agar stok rumah menurun atau permintaan meningkat, sehingga memacu kembali rumah baru dan menghindari jangan sampai seolah-olah pemerintah hanya memihak kelompok menengah, dimana sebelumnya penghapusan PPN sudah berlaku untuk rumah subsidi FLPP.
Namun lebih lanjut Ali menjelaskan, hal ini tentunya berbeda dengan aturan penghapusan rumah FLPP karena tidak dibatasi periode enam bulan. Meskipun dampaknya luar biasa, namun tentunya hanya pengembang yang memiliki rumah ready stock yang diuntungkan.
Baca Juga: Biaya Beli Rumah Tinggi, Pemerintah Harus Turunkan BPHTB!
Jangan sampai memberikan kesan bahwa pemerintah memberi kebijakan setengah hati dan tidak akan berdampak luar biasa. Bila fokus pemerintah hanya untuk menghabiskan stok rumah, menurut Ali, rasanya kurang tepat. Pasalnya, yang harus difokuskan pemerintah adalah potensi daya beli yang besar di masyarakat menengah untuk membeli rumah baru dan tidak dibatasi hanya untuk rumah ready stock.
“Kebijakan yang harusnya luar biasa ini menjadi kontra produktif karena ada aturan ready stock. Fokus pemerintah harusnya memperbesar pasar, bukan hanya untuk menghabiskan stok rumah. Paling tidak ada patokan standar progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi, dan tidak harus ready stock,” jelas Ali.