RealEstat.id (Jakarta) - Regulasi di Tanah Air sepertinya masih lebih menguntungkan pengembang ketimbang konsumen properti. Misalnya, pada saat pengembang terlambat melakukan pembangunan, serah terima kunci, atau spesifikasi bangunan tidak sesuai, konsumen seakan-akan tidak berdaya dalam melakukan tindakan hukum. Permasalahan dengan developer ini pula yang menjadi salah satu alasan konsumen untuk memilih menyeret para pengembang yang wanprestasi itu ke Pengadilan Niaga melalui perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), bahkan sebagian ada yang langsung ke permohonan pailit.
“Konsumen properti hanya jadi raja saat penjualan proyek, tetapi tak lagi jadi raja saat developer dan proyek bermasalah,” kata Dedy Kurniadi, advokat dan praktisi kepailitan dalam acara webinar bertajuk “Pengembang dalam PKPU, Bagaimana Nasib Konsumen” yang diselenggarakan Smart Property Consulting (SPC), Sabtu (4/7/2020).
Baca Juga: Tips Mengatasi Masalah Hukum dengan Pengembang dan Cara Mengantisipasinya
Menurut Dedy Kurniadi, pada saat konsumen properti menyerahkan booking fee atau uang muka kepada developer, timbul hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.
“Pada kondisi ini, konsumen telah menitipkan sejumlah uang kepada developer, dengan harapan akan mendapat unit properti, akan tetapi developer belum memastikan kepemilikan terhadap properti tersebut,” kata Dedy. “Persoalan-persoalan inilah yang kemudian membuat pengembang dibawa ke ranah PKPU.”
proses membawa developer ke PKPU dilakukan setelah developer dinilai tidak mampu—atau tidak mau—membayar kewajiban kepada para kreditur (salah satunya konsumen). Permohonan ke PKPU bisa dilakukan oleh kreditur maupun debitur (pihak yang berutang).
Baca Juga: Rumah Pahlawan Nasional Mohammad Yamin Disita, Tersangkut Utang dengan Bank
Ada beberapa skenario yang terjadi setelah proses PKPU. Pertama, bila terjadi perdamaian, pengembang akan meneruskan proyek, merestrukturisasi kewajiban, atau mengembalikan pembayaran konsumen.
Kedua, bila tidak terjadi perdamaian, maka developer dinyatakan pailit. Apabila ini terjadi, maka semua aset developer akan disita, termasuk di dalamnya unit properti milik konsumen—yang masih atas nama developer.
Bijak Dalam Berinvestasi Properti
Sementara itu, Juneidi D. Kamil, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan menjelaskan, tren kasus PKPU dan kepailitan di Tanah Air setiap tahun mengelami kenaikan. Di 2019, kasus PKPU dan kepailitan mencapai 549 kasus, atau meningkat dibanding 2018 (411 kasus) dan 2017 (352 kasus).
Data 2018 menunjukkan Jakarta Pusat memiliki kasus PKPU tertinggi (234 kasus), diikuti Surabaya (70 kasus) dan Semarang (57 kasus). Sedangkan, kasus PKPU sektor properti menduduki urutan kedua (86 kasus) setelah industri manufaktur (91 kasus).
Baca Juga: Tips Menyewa Ruang Kantor Sesuai Kebutuhan dan Tanpa Masalah Legalitas
Menurut Juneidi, masalah jual-beli properti tidak hanya berlaku bilateral antara konsumen dengan developer, tetapi multilateral yang juga melibatkan perbankan yang mengucurkan KPA/KPR kepada konsumen dan kredit konstruksi kepada pengembang.
Sebagai akibat pengembang dalam PKPU, bank mengalami kerugian: risiko kredit, risiko hukum, dan risiko reputasi. Sementara, konsumen (nasabah KPR) juga mengalami kerugian, selain harus berperkara di Pengadilan Niaga, mereka juga berpotensi mengalami kerugian dalam perdamaian PKPU, berpotensi kehilangan hak atas kepemilikan properti, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Cara Membagi Harta Warisan dalam Hukum Islam
“Konsumen sering tertarik dengan penjualan early bird yang dilakukan developer, dimana properti yang ditawarkan masih inden alias belum dibangun. Secara investasi, memang lebih menguntungkan (capital gain tinggi), padahal risikonya tinggi. Apalagi bila proyek yang dikembangkan mangkrak,” katanya.
Untuk itu, imbuh Juneidi, sebaiknya konsumen melakukan investasi secara bijak dan aman. Akan lebih aman bila konsumen memerhatikan bank pengucur KPR/KPA di proyek yang dikembangkan. Sebab, pihak bank pasti telah melakukan penilaian untung-rugi dan risiko proyek tersebut.
Selusin Cara Konsumen Terhindar dari Masalah
Pada kesempatan yang sama, Muhammad Joni dari Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan menjelaskan, hal-hal yang terkait legalitas kerap menjadi permasalahan antar konsumen dengan pengembang. Dia mengatakan, legalitas tanah menjadi poin yang paling tinggi risikonya.
“Ada beberapa isu yang kerap menjadi pemicu permasalahan. Antara lain terkait klausul kontrak baku, terkait hukum (undang-undang), proses dari Surat Pemesanan hingga Sertifikat, klausul janji pengembang (luas dan spesifikasi unit, pembayaran, penyerahan, PSU, pengelolaan, dan lain-lain), kondisi bangunan dan perizinan saat serah terima, daln lain sebagainya,” kata Muhammad Joni.
Baca Juga: Saat FLPP Menjadi Dana Tapera, Bagaimana Nasib Perumahan Rakyat?
Agar konsumen terhindar dari masalah dengan developer, jelasnya, ada selusin hal yang harus diperhatikan:
- Periksa kuandran, jejaring bisnis, dan reputasi developer serta agen marketing (broker).
- Periksa status dan legalitas tanah.
- Periksa lembaga pembiayaan atau bank penyedia KPR dan pembiayaan proyek (KYG) termasuk skema pembayaran rumah (uang muka, cicilan, biaya, diskon, dan timeline).
- Periksa perizinan dan persyaratan proyek.
- Periksa klausul Booking Fee, NUP (nomor urut pemesanan), Surat Pemesanan, PPPJB, AJB.
- Periksa dan simpan brosur atau iklan yang mencantumkan spek bangunan sebagai bukti bila ada masalah.
- Periksa kemajuan pembangunan fisik proyek.
- Periksa objek/unit dan spek standar yang ditawarkan pengembang.
- Periksa kemajuan pengurusan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), AJB (Akta Jual Beli), sertifikat, SLF (Sertifikasi Laik Fungsi).
- Periksa siapa saja konsumen dan tenant yang akan masuk.
- Periksa siapa pengelola perumahan dan PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) bila membeli apartemen.
- Periksa adakah PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).