Pembangunan Tol Cimanggis - Cibitung Dikeluhkan Warga dan Pengembang

Selain menimbulkan infeksi saluran pernapasan dan membuat dinding rumah warga retak, pembangunan Tol Cimanggis - Cibitung juga menyisakan masalah pertanahan.

Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

RealEstat.id (Bekasi) – Pembangunan ruas Tol Cimanggis - Cibitung ternyata dikeluhkan warga Desa Cijengkol, Kecamatan Setu dan Grand Residence City Bekasi. Mereka mengaku pembangunan Tol Cimanggis - Cibitung membuat rumah mereka retak-retak.

Berdasarkan laporan warga, sebanyak 15 unit rumah mengalami retak akibat kencangnya getaran mesin alat berat saat pembangunan proyek Tol Cimanggis - Cibitung.

Sementara, beberapa warga pun mengalami sesak napas (Infeksi Saluran Pernapasan/ISPA) lantaran menghirup debu akibat pengerjaan proyek tersebut.

Ketua RW 014 Desa Cijengkol, Abib Endang Trisnawan mengatakan, sebanyak tujuh orang warganya tekena gangguan pernapasan dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. Padahal, sebelumnya tidak pernah punya riwayat penyakit pernapasan.

Baca Juga: Konflik Pertanahan Rempang Eco City, ATR/BPN: Masyarakat Tidak Punya Sertifikat!

“Salah satu penyebab utamanya adalah terlalu banyak mengisap debu. Ini yang bilang dokter. Kami tidak asal bicara, ada bukti rekam medis dari Rumah Sakit Hermina,” katanya, usai mediasi antara warga dengan PT Cimanggis Cibitung Tollways (CCT) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Selasa, 17 Oktober 2023.

Karenanya, Abib, mewakili warga, menuntut PT Cimanggis Cibitung Tollways (CCT) dan PT Waskita Karya selaku pelaksana proyek agar memberikan kompensasi dana pengobatan serta perbaikan rumah. Selain itu, meminta pembatasan jam kerja pembangunan proyek tidak 24 jam karena menggangu warga.

“Setidaknya, jam kerja bisa dikurangi paling lama sampai pukul 22.00 WIB. Pengerjaan proyek yang non stop membuat warga tidak dapat beristirahat nyaman, padahal mereka dituntut harus bangun pagi-pagi untuk bekerja,” jelas Abib, dalam siaran pers yang diterima Realestat.id.

Bentuk kompensasi lain yang diminta adalah perhatian lebih terhadap kebutuhan sosial warga sekitar proyek. “Kami berharap agar pihak CCT dan Waskita juga memprioritaskan pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) di lingkungan sekitar terutama yang terdampak proyek,” harapnya.

Baca Juga: ATR/BPN: Status HGB Berakhir, Hotel Sultan Jakarta Kembali Dikuasai Negara

Keluhan warga terhadap dampak pembangunan jalan tol CIbitung – Cimanggis direspon oleh pihak CCT dan Waskita yang berjanji akan memenuhi tuntutan warga.

Dihny Puspita Aziz, QHSE Coordinator CCT mengatakan, pihaknya menyadari di setiap proyek pasti akan ada yang terdampak, dan pihaknya memang siap menangani keluhan masyarakat, termasuk soal debu di proyek ini.

“Terkait dengan debu tadi, kita sudah melakukan penyiraman secara rutin dan memang lagi musim kemarau saat ini yang menyebabkan banyak debu,” ujarnya

Namun, pihaknya akan terlebih dulu melalui analisa data di lapangan dan dari kedokteran. “Kita tidak bisa menjustifikasi itu disebabkan oleh debu atau bukan, kita harus berkoordinasi dengan rumah sakit terkait, apakah dampak dari debu atau bukan,” jelasnya.

Baca Juga: Warga Springhill Yume Lagoon Tolak TPST Suradita, Ini Alasannya

Dhiny menegaskan, pihak CCT akan bertanggung jawab jika memang ada keterangan resmi dari dokter Hyperkes (Dokter bersertifikat keselamat Kerja) yang menyebutkan bahwa benar warga yang sakit karena akibat debu proyek tol.

“Jika ada warga terdampak kita bisa konpensasi mereka, tapi dengan catatan bahwa itu (sakit ISPA karena debu) ada statement dari dokter hyperkes,” ujarnya.

Kuasa Penuh Di Balik UU Agraria

Di lain pihak, Roy Michael, Kuasa hukum PT Agung Graha Persada Utama—pengembang Grand Residence City—menilai, selain tidak memperhatikan dampak dari pembebasan lahan dalam Kawasan Grand Residence Bekasi, Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, pembangunan Tol Cimanggis - Cibitung juga dinilai cacat hukum.

Menurutnya, selain cacat hukum melalui kesalahan penyebutan pemilik, eksekusi lahan seluas 6.000 meter untuk Pembangunan jalan Tol Cimanggis - Cibitung juga mengabaikan prinsip keadilan soal ganti rugi.

Baca Juga: Tips Menghindari Praktik Mafia Tanah Dari Kementerian ATR/BPN

"Nilai yang diberikan sangat jauh dengan nilai tanah di sekitarnya, padahal tanah yang dibebaskan adalah tanah matang yang siap dipasarkan oleh PT Agung Graha Persada Utama," ungkapnya.

Kendati cacat hukum, eksekusi tetap berjalan dan permintaan perubahan harga sesuai dengan nilai pasar pun tak digubris saat mediasi antara PT AGPU dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT/PT Cimanggis Cibitung Tollways), pada 21 September 2023 lalu.

“Jadi, nilai ganti rugi memang sangat timpang sekali dan kami mempertanyakan hal tersebut,” ujarnya di Bekasi, Senin (26/9/2023) lalu.

Upaya mediasi yang seharusnya dilakukan sebelum eksekusi harus dilakukan setelah eksekusi walaupun cacat hukum. Mediasi pun dianggap gagal, lantaran persidangan hanya dihadiri satu orang staf legal.

Baca Juga: Waspada! Ini Modus Andalan Sindikat Mafia Tanah

"Untuk itu, client-nya terpaksa harus menempuh proses persidangan selanjutnya. Ini menunjukkan tidak ada niatan mediasi yang serius dari Pemerintah,” imbuh Roy Michael.

Roy mengungkapkan, selama ini apabila ganti rugi pengadaan tanah dijalankan sesuai dengan aturan yang ada pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang disempurnakan melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 Tahun 2020 maka client kami tidak akan melakukan perlawanan hukum.

Sementara, terkait pembebasan yang tidak mengikuti aturan, PT Agung Graha Persada Utama (AGPU) selaku pemilik tanah akan terus melakukan upaya hukum terkait eksekusi lahan miliknya di Pengadilan Negeri (PN) Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, walaupun tanah tersebut sudah dieksekusi pemerintah.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Foto: Realestat.id
Foto: Realestat.id
Perumahan Subsidi (Foto: Dok. BP Tapera)
Perumahan Subsidi (Foto: Dok. BP Tapera)