RealEstat.id (Jakarta) – Jika memang Indonesia Emas 2045 adalah rumah utama, maka ruang waktu 2024 - 2029 adalah serambinya. Kudu dijaga dan disukseskan, kinerja dan tata kelola-kramanya. Jika tak bisa presisi memasuki "rumah" Indonesia Emas 2045, momentum yang hendak menjadikan perkotaan (dan perdesaan) pusat pertumbuhan ekonomi; rugi dong!
Mencerna helai demi helai visi dan misi, publik perumahan patut riang; walau cemas. Tersebab tiga pasangan calon Presiden - Wakil Presiden peduli ikhwal pembangunan perumahan rakyat. Bagaimana pun, visi dan misi itu adalah dokumen politik elektoral, yang berdimensi perjanjian kepada publik yang "sakral". Janji yang bisa ditagihkan. Pinjam saja asas hukum perjanjian ini: Pacta Sunt Servanda.
Cemas karena ikhwal perumahan rakyat terbelit tantangan dan beban. Satunya, proyeksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 331 juta jiwa yang 73% tinggal di ruang spasial dan sosial bernama perkotaan. Tantangan dan beban perkotaan plus urbanisasi yang tidak produktif, apalagi tanpa panduan UU Perkotaan, patut mencemaskan.
Pelaksanaan visi dan misi alias janji perumahan rakyat adalah tantangan pada dua hal: kolaborasi dan perluasan akses. Mengadvokasi percepatan mencapai kesejahteraan perumahan adalah keharusan, bukan membiarkan sebagai bussines as usual. Bukan hanya APBN Base, namun Constitution Base alias Right Base yang membuatnya berbeda dari sekadar "proyek" mengisi angka baclog dan capaian statistik housing stock.
Caranya, pastikan setiap items program demi disiplin mencapai Indikator Rumah Layak Huni (RLH) RPJMN 2025-2029, termasuk penyediaan perumahan, walau harus tepat sasaran dan cocok dengan kebutuhan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pun, pembiayaan masyarakat non-fixed income. Hemat saya, pastikan termasuk via lembaga keuangan non bank.
Juga, penyediaan tanah untuk perumahan via hunian berbasis Transit Oriented Development (TOD), bahkan disarankan inovasi dalam jurus Land Reform perkotaan berwawasan lingkungan. Tak kalah penting, kolaborasi pemerintah dengan segenap multy stakeholder non pemerintah. Jangan lupakan sang "raja" konsumen perumahan subsider MBR yang menghidupkan pasar perumahan dan urban economic.
Baca Juga: Dari Kotabaru Jogja, Desak Perubahan Perkotaan: Indonesia Forever
Tentu majelis pembaca mafhum, kesejahteraan bukan data statistik. Kesejahteraan rakyat dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state) adalah tema premium dari perumahan yang memanusiakan manusia.
Kudu perlu terus menjaga human sensitive of housing. Bukan hanya mengatasi situasi defisit perumahan (backlog). Backlog bukan hanya sebatas tambah kurang pencapaian angka dan penyerapan fiskal, juga bukan statistik bangunan fisik. Backlog adalah realitas situasi, yang bertautan dengan sosial, ekonomi, budaya, hukum, bahkan hukum tertinggi bernama konstitusi. Sekali lagi bukan hanya angka juncto statistik tanpa dinamika situasi.
Perumahan berkelindan dengan dinamika kebijakan yang acapkali sulit. Ada yang menyebutnya bagai mengisi bak air tak penuh-penuh. Jika benar demikian, inikah indikasi yang disebut ahli konstitusi betapa perumahan masih pilar goyah negara kesejahteraan (wobly pillar of welfare state).
Perumahan adalah peradaban bangsa mana saja. Selain makhkuk ekonomi dan zoon politicon, manusia adalah makhluk bermukim. Persis seperti justifikasi dalam konstitusi. Justifikasi jalan tol tak disebut dalam konstitusi, walaupun infrastruktur komersial yang penting untuk percepatan arus logistik. Infrastruktur dasar lebih penting untuk percepatan akses perumahan. Sebut saja karena situasi backlog, pembangunan perumahan rakyat kudu perlu percepatan. Tanpa agenda percepatan: kolaborasi dan akses, rugi melewatkan momentum itu.
Hari pencoblosan suara Pemilu 2024 telah lewat tiga pekan, rekapitulasi kita harapkan konstitusional.
Ini hari-hari yang syarif untuk bergerak cepat, The Housing and Urban Development (HUD) Institute menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas), 7 Maret 2024. Agenda untuk menyokong langkah penting ini: percepatan pembangunan perumahan rakyat yang sekali lagi hak konstitusional.
Helat dibuka Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa. Disempurnakan dengan arahan Ketua Majelis Tinggi Organisasi (MTO) Andrinov A. Chaniago. Juga, pencerahan pakar dan profesional housing and urban development dilibatkan dalam mengawal agenda The HUD Institute mengadvokasi percepatan pemenuhan hak bertempat tinggal versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Menjelang Rakortas, saya berdiskusi secara one on one dengan Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto. Hasilnya, perlu percepatan dan ketepatan agenda pembangunan perumahan rakyat yang kini akan memasuki ruang waktu penting 2024-2029 menjelang Indonesia Emas 2045. Periode itu seperti tamsil dari serambi, momentum selangkah memasuki ruang utama rumah. Transformasi apa yang hendak dilakukan?
Narasi ini tak hanya rekapitulasi instruksi dan chit-chat dengan Zulfi Syarif Koto. Pun, saya menikmati gizi moral, betapa kokoh dan tabahnya Pak HUD peduli pada kaum MBR ikhwal hak atas rumah—yang layak, terjangkau, dan berkeadilan.
Baca Juga: Andai Kota-Kota itu Bernyawa, Tidak Cukup Transformasi 40 Kota
Diskusi kami setuju menggaris bawahi poin penting ini: BP3 (Badan Percepatan Pembangunan Perumahan) –yang terkesan skip dari ekologi perumahaan dan kawasan permukiman.
Hal itu catatan penting yang perlu dikemukakan sebagai sikap abadi tatkala berdiskusi by phone dengan Ketua Umum The HUD Institute, sang anak Kampung Aur tepi sungai Deli, Kota Medan yang seakan terlahir untuk perumahan rakyat. Mungkin karena waktu kecil acap berpindah-pindah menyewa rumah seperti diujarkannya kepada saya dengan suara agak terbata dan mata berkaca-kaca tatkala peluncuran buku keduanya berjudul: ‘Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah-Membangun Untuk Siapa?’ (2020).
Bagai menikahi urusan perumahan rakyat, bagi "Pak HUD" rumus baku pro kaum MBR adalah belahan jiwa dan sikap idiologisnya. Ijinkan amba mengikuti dan mengambil alih sebagai posisi pemihakan dan inspirasi melakoni strategi advokasi.
Menindaklanjuti diskusi yang bagai kuliah privat pagi gratis, saya diminta membuat serambi, tak lain sebagai ‘Sekapur Sirih’ yang idemditto sambutan pembuka acara Rakortas.
Kata serambi itu bagian depan jelang ruang utama rumah yang selalu dikawal dengan tata krama Good Housing and Urban Governance, bukan hanya siaga hulu balang penjaga target penyerapan. ‘Sekapur Sirih’, dua kata satu makna itu adalah tata krama, pun tamsilan menghormati tetamu yang dimuliakan. Kata ‘syarif’, dalam bahasa Arab artinya mulia.
Dalam tamadun puak Melayu, ‘Sekapur Sirih’ itu sambutan memuliakan tetamu yang datang diundang pun kunjungan penghormatan (courtesy visit). Tak afdhol dan tak elok rasanya bila tak ada pantun dituturkan.
“Buah lakom pisang barangan/ Dibawa masuk dalam sanggan/ Assalamualaikum kami ucapkan/ Tempat duduk sudah disiapkan”.
“Kawat direntang buat jemuran/ Ambil galah tolong tegakkan/ Selamat datang kami ucapkan/ Alhamdulillah tak ada halangan.”
Baca Juga: Polusi Melanda Ibu Kota Jakarta, Apa Kabar Kesehatan Perkotaan?
Kudu Tanpa Halangan
Sudah semustinya tidak ada halangan, dalam hal ikhwal perumahan rakyat sebagai hak dasar dan syarif sebagai hak konstitusional. Mulia dan hebatnya hak perumahan perlu dicatat, bahwa tanggungjawab atas hak bertempat tinggal itu adalah kontrak sosial yang dimuliakan ke dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Itu pengabdian yang konstitusional dan ujian yang syarif.
Perumahan yang layak dan terjangkau itu kebutuhan dasar yang cita rasa dan standarnya terus berkelanjutan, bukan menurun atau hanya stagnan. Siapa pula yang hendak turun dalam standar kebutuhan juncto indeks kesejahteraan? Pemenuhannya dengan progresively and full realization, seperti prinsip dalam ECOSOC Rights. Bahkan, jika meminjam konsideran UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP), perumahan menjadi identitas manusia. Bagi bangsa beradab di planet bumi manusia, sehingga menjadi hak universal, tanpa diskriminasi dan tanpa interupsi.
Selain tanpa interupsi, perumahan itu hak yang universal, tersebab itu bersatupadu dengan asas keadilan universal atas hak hunian. Perkembangan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia pun bergerak terus seakan tanpa interupsi.
Mengapa? Sebab Pemerintah Indonesia sudah banyak meluncurkan kebijakan dan program perumahan rakyat, seperti Program Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga, Kampung Improvement Programme (KIP), Program Pembangunan Bertumpu pada Kelompok (P2BK), Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS), Program Bantuan Kredit Lunak Bank Indonesia, Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GNPSR), Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh (GENTAKUMUH), Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan, termasuk sekarang ini Program Sejuta Rumah.
Namun, mengapa oh mengapa angka backlog dan rumah tidak layak huni serta kawasan kumuh kota alahai masih belum menurun? Jauh dari zero backlog. Belum nol kawasan kumuh kota. Apa kabar program 100-0-100?
Lepas dari pencapaian yang diraih dengan Program Sejuta Rumah (PSR), namun perlu audit lengkap mengapa belum efektif mengatasi defisit perumahan? Karena pada kenyatannya masih ada backlog sebesar 12,75 juta (2020), yang justru bukan turun, alahmak malah naik 0,8 juta jika dibandingkan angka backlog pada kurun waktu 14 tahun yang lalu.
Kondisi sedemikian seperti methapor disampaikan Herry Trisaputra Zuna, Dirjen Pembiayaan Kementerian PUPR, bahwa backlog bagai mengisi bak air tak penuh-penuh. Penting tulus memeriksa faktor krusial dan masuk akal perihal isu-isu non teknokratis dan fiskal disebalik "bak air tak penuh-penuh" itu? Apa dan mengapa situasi backlog masih menggejala laten sampai menjadi isu elektoral masa ke masa? Apa details kesenjangan antara perencanaan dalam dokumen teknokratis dengan kinerja pencapaian?
Baca Juga: Kisruh Dana PSU 2024: Review Lebih Cepat, Bahagia Rakyat Lebih Tepat
Perlu Kesungguhan ala Hatta
Mengutip kilas balik perjalanan perumahan rakyat dalam dokumen The HUD Institute bertitel “Inisiatif dan Transformasi Menuju Zero Backlog Perumahan - 73 Tahun Perjalanan Perumahan Sejak Kongres Perumahan Pertama 25 Agustus 1950”, yang dibuka dengan narasi periode awal sejak Kongres Perumahan di Bandung, telah banyak dibentuk infrastruktur kelembagaan untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar.
Diantaranya, Badan Pembantu Perumahan Rakyat pada tahun 1951, Jawatan Perumahan Rakyat tahun 1952, Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan tahun 1955, serta memberikan penguatan peran Pemerintah Daerah dalam urusan perumahan melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1953. Sehingga tercapai salah satu pembangunan rumah susun Deplu dan PTIK di DKI Jakarta pada tahun 1955-1956.
Kembali kepada pesan Mohammad Hatta pada pidato Kongres Perumahan 1950, Proklamator yang memidatokan 'Indonesia Vrij' itu mewanti-wanti pentingnya kinerja dan pemihakan yang dibahasakannya sebagai bersungguh-sungguh pada perumahan rakyat! Analog dengan spirit 'Indonesia Vrij', perlu percepatan memerdekakan Indonesia dari kemiskinan perumahan. Hatta sosok yang serius, bersih dan cerdas, yang malu kepada rakyat. Bung Hatta yang tak sempat membeli sepatu Belly yang diidamkan. Masih ingat kalimatnya: "Apa kata rakyat nanti?" Ketika ditawarkan komisaris perusahaan asing di Indonesia.
Majelis Pembaca. Kunyahan pertama dalam spirit ‘Sekapur Sirih’, bahwa kelembagaan adalah jurus pertama memerdekakan bangsa Indonesia dari kemiskinan perumahan dalam perkotaan yang semakin mengkota dan konsentrasi manusia. Urbanisasi membutuhkan kesejahteraan dan pasokan perumahan. Urbanisasi yang dirancang menyejahterakan, bukan tanpa intervensi kebijakan budiman.
Selain bertanggungjawab untuk mengurus mandatory perumahan rakyat, Negara pun tidak dalam posisi mencari cuan alias laba ikhwal urusan membebaskan kemiskinan perumahan rakyat, itu urusan syarif yang sama tua dan kausalitasnya dengan gagasan 'Indonesia Vrij' yang diperjuangkan menjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Membaca situasi dan data backlog, patut menguatirkan masalah struktural difisit perumahan itu bisa diatasi jika tanpa terobosan mendasar.
Satu soal mendasar yang diusung The HUD Institute adalah penyediaan tanah untuk perumahan rakyat-subsider-masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kelangkaan tanah dan harganya yang terus meningkat, perlu intervensi-affirmatif penyediaan tanah untuk perumahan rakyat dengan pemihakan Negara utamanya pemerintah dalam aktualisasi dan transformasi Hak Menguasasi Negara (HMN).
Ya, HMN yang diturunkan ke dalam wewenang mengatur (regulate; bestemming), dan menyelanggarakan (execution). Mengatur ihwal peruntukan/penggunaan (use), persediaan (reservation), pemeliharaan (maintenance), hubungan hukum orang dengan tanah, perbuatan hukum mengenai tanah, maka transformasi tata kelola perumahan bisa dimulai dengan transformasi kebijakan nasional pertanahan untuk perumahan rakyat.
Baca Juga: Ayat-ayat Kolaborasi Jakarta Habitat: Sebuah Kolaborasi Kota - Manusia
Kunyahan kedua ‘Sekapur Sirih’ ini, The HUD Institute mendorong dan menyokong rencana nasional (national planning) dan strategi peruntukan tanah (land-used strategies) untuk memenuhi konstitusi bertempat tinggal a.k.a. perumahan, termasuk memastikan bank tanah (land bank) memberi prioritas utama tanah untuk perumahan rakyat-subsider MBR. Bukan aksesori saja dan agenda tambahan belaka.
Merujuk PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah menentukan bahwa bank tanah melakukan pengembangan tanah untuk perumahan dan kawasan permukiman, juga peremajaan kota, pengembangan kawasan terpadu, konsolidasi lahan, pembangunan infrastruktur, pembangunan sarana dan prasarana lain, pematangan tanah untuk mempersiapkan tanah bagi tata kelola usaha bank tanah, proyek strategis nasional, seluruhnya dimaknai sebagai mainstreaming program stretegis perumahan rakyat.
Perihal kerjasama Badan Bank Tanah dengan Pemda ada diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PP 64 Tahun 2021, menjadi titik masuk melakukan transformasi tata kelola penyediaan tanah dengan badan bank tanah yakni dengan Pemda, oleh karena perumahan rakyat dan kawasan permukiman merupakan urusan konkuren wajib pelayanan dasar sebagaimana Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).
Narasi di muka untuk mendorong dan meluangkan kebijakan baru transformasi tata kelola penyediaan tanah dengan memerankan badan bank tanah membuat prioritas kerjasama strategis dan utama dengan Pemda dalam melaksanakan urusan perumahan rakyat.
Terkait pula dengan kebijakan belanja daerah (APBD) yang beralasan hukum diprioritaskan untuk urusan konkuren wajib (Pasal 298 ayat 1 UU Pemda), dalam hal ini perumahan rakyat dan kawasan permukiman.
Dengan begitu transformasi tata kelola penyediaan tanah untuk perumahan rakyat—yang layak, terjangkau dan berkelanjutan—menjadi bagian strategis rencana induk lembaga bank tanah, mengintegrasikan lingkup tugas dan wewenang Badan Bank Tanah dengan Pemda.
Hal itu mendorong efektifitas transformasi kebijakan penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Dasarnya, menghidup-hidupkan konstitusi bertempat tinggal sebagai generator dan legitimator membebaskan kemiskinan perumahan mengikuti gagasan konstitusi pembebasan (liberating constitution).
Baca Juga: Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau: Bersungguh Mengisi Air Sampai Penuh
Perspektif MBR: Pertimbangan Puncak
Setarikan nafas transformasi penyediaan tanah, akses pembiayaan perumahan rakyat a.k.a MBR menjadi krusial di tengah daya beli dan daya cicilnya yang selalu kalah dengan cost of fund dan cost of capital, cost of operation. Juga, risk margin, profit margin, bahkan regulatory cost (loan to deposit, GWM, CAR), biaya-biaya katup pengaman "stylist" industri perbankan. Kiranya perlu inovasi-efisiensi lembaga pembiayaan bank secara out of the box in the boxes untuk MBR yang rekapitulasi daya belinya terbatas.
Kalau tidak, pembiayaan untuk perumahan rakyat—yang merupakan kebijakan sosial (social policy) dan mandatory konstitusi—alhasil masih saja idemdito dengan perlakuan untuk pembiayaan industri komersial.
Jeratan itu harus bisa diatasi. Dengan pakem non bank dan menghidupkan mesin lembaga keuangan non bank untuk perumahan MBR, khususnya informal dan pekerja mandiri. Agar tidak ada perlawanan zaman dan distorsi pasar, perlunya audit mendalam kinerja sistem pembiayaan perumahan bukan ujaran berlebihan.
Saya soor kali ketika Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono baru-baru ini langsung mengguit bank agar memangkas bunga KPR non subsidi—yang berimplikasi efisiensi cost of fund KPR MBR. Walau sistem pembiayaan dinormakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP) pemerintah perlu segera menggerakkan “mesin kedua”: lembaga keuangan non bank khusus perumahan rakyat/MBR. The HUD Institute siap siaga mengadvokasi.
Kalau perlu konsep hukum dan eksistensi lembaga keuangan non bank dalam UU PKP itu tak salah jika diuji ketangguhan konstitusionalnya. Semacam meminta pendapat hukum Mahkamah Konstitusi, demi menerobos dan mempercepat pencapaian zero backlog. Itu bukan hal yang perlu dikuatirkan "Agak Laen".
Kunyahan ke-3 dan ke-4 dalam ‘Sekapur Sirih’ jujur mengharapkan adanya sokongan kepada perumahan rakyat dalam perspektif rakyat cq. MBR, dengan menguatkan daya beli dan daya cicil serta perlindungan konsumen.
Apa gunanya banyak perumahan MBR tanpa daya beli MBR. Apalagi perumahan dalam relasi pertanahan belum mereda atau masih rentan dengan sengketa konsumen versus pelaku usaha, bahkan “kejahatan” dalam relasi perumahan dan properti yang menelusup menjadi penumpang gelap seperti halnya isu mafia tanah.
Walau belum masuk ke dalam skema ekologi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, perlu kali-lah menata kelembagaan dan urusan Badan Percepatan Pembangunan Perumahan (BP3) yang diamanatkan UU Cipta Kerja, walaupun perlu cermat dan cerdas merumuskannya agar suportif dan tidak mendistorsi tata kelola pembangunan perumahan.
Baca Juga: Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau: Menakwil Presiden Minta Bantu Hunian Rakyat
Seperti tamsilan olesan kapur dilekatkan ke helai daun sirih, perumahan lekat bahkan fusi dengan perkotaan. Pakar perumahan Tjuk Kuswartojo mendalilkan perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota.
Oleh karena itu, sudah pada jalan yang benar memormulasi kerangka housing and urban development yang terintegrasi menjadi tantangan Indonesia masa depan. Yang mencakup kerangka kebijakan, kelembagaan dan urusan, serta pembiayaan.
Untuk maksud itu, patut menyerap hantaran dan arahan strategis dari Ketua MTO The HUD Institute menjadi pelaku non pemerintah yang terdepan. Tentu, merespon segera dan konkret arahan Menteri PPN/Kepala BAPPENAS—yang juga Deklarator The HUD Institute—perihal prakarsa RUU Perkotaan. Dengan meracik pandangan dan analisa pakar dan profesional Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW), ke dalam sikap organisasi. Ali yang diundang bicara pada Rakortas acapkali analisanya bukan sekadar angka-angka, namun ulasan mendalam apa dibalik angka, yang kerap akalnya berjalan untuk mendapatkan "feel" disebalik rahasia tak berkata dari data dan angka.
Kritik Ali, kerap kali konsultan properti menyajikan data dan angka, tetapi tidak tahu market dan historical-nya, katanya kepada Bisnis Indonesia (1/1/2022). Ali memang mencemaskan perumahan MBR yang tersisihkan ke pinggir kota karena harga lahan mahal. Dia memahami betapa MBR membidik rumah susun subsidi dalam satu kawasan berkonsep Transit Oriented Development (TOD).
Analog itu, Ali yang menulis buku ‘Hati-hati Perangkap Properti’ mengguit pemerintah untuk serius memahami “market” dalam hal ini rakyat a.k.a MBR penerima manfaat. Ya, bukan hanya dalam penyediaan rumah yang layak terjangkau namun ‘abc-xyz’ perspektif MBR yang kerap berada dalam posisi Low Income Trap, bahkan dibawahnya, serta rentan informasi asismetris. Pun, MBR berposisi tidak setara dengan pengembang, sehingga perlu edukasi dan perlindungan konsumen kudu hati-hati perangkap properti, yang bahkan suara keluhannya acap tak teratasi oleh power pembuat kebijakan.
Oleh karena itu, perspektif MBR—secara etnologis bukan hanya narasi permukaan—menjadi anasir utama. Bahkan elok jika menjadi pertimbangan puncak (paramount consideration) pemerintah dalam membuat kebijakan publik perumahan rakyat. Bagi MBR, tepat sasaran saja tidak cukup namun perlu tepat kebutuhan agar sedian pasar perumahan itu cocok bagaikan gizi yang sehat diserap, tidak menjadi housing stock yang dibeli tapi tak hendak dihuni. Bisa jadi karena jauh nun di luar tempat bekerja dan susah akses ke kota. Perlu dicatat, tiga poin dari defenisi perumahan rakyat adalah: akses, akses, akses.
Melalui The HUD Institute, suara-suara yang tak terdengar kaum MBR itu berharga, dan wajar menjadikan perspektif MBR sebagai paramount consideration. Yang hendak digema-gemakan dalam helat demi helat The HUD Institute, secara formal maupun lobi informal.
Itu hal yang patut dijaga di tengah perubahan situasi aktual dewasa ini, termasuk mencermati kebijakan pemerintahan baru nanti, bagaimanakah derap percepatan pembangunan perumahan rakyat? Sudah saatnya momenum pembangunan perumahan menjejak etape 5 tahun menuju "rumah" Indonesia Emas 2045 itu digiatkan dengan derap yang tak biasa. Mengikuti integritas dan pesan kesungguhan ala Bung Hatta, perlu trigol-hatrik kesejahteraan perumahan dengan: percepatan, percepatan, percepatan.
Baca Juga: Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau: Santun Pada Konstitusi, Merdeka dari Kemiskinan Perumahan
Seperti kapur melekat pada helai daun sirih, perumahan berada dalam ruang perkotaan menjadi subyek kajian yang inheren dan penting, kini. Terlebih pada era mengkota dan serbuan urbanisasi sehingga kebutuhan atas perumahan perlu disediakan, yang kerap menjadi beban perkotaan sehingga perlu kota berkelanjutan yang tangguh. Perlu diinsyafkan betapa mengupayakan pemberdayaan warga kota sebagai tugas yang syarif selain mandatory konstitusi. Saya nekat menyebut dan hendak mengulas Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 adalah kaidah konstitusi kota.
Menguji itu pakar narasumber Rakortas Wicaksono Sarosa tepat diundang dan telah cermat mengulas pertautan perumahan dan perkotaan. Isu global itu digeluti tokoh yang kalem namun berisi sebab pernah menjabat Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform, dan anggota Policy Unit on Urban Governance di PBB dalam penyusunan New Urban Agenda (NUA).
Pak Wicaksono yang menulis buku ‘Kota untuk Semua’ terus mengedarkan pandangan yang kental pro kesetaraan sosial ala kampusnya, bahwa kota tidak cuma untuk segelintir orang yang punya akses ke ruang kota, yang tersurat pemihakan kepada semua orang atas kota (city for all) dan menolak penyisihan pun tertinggalnya walau hanya satu warga atas kotanya Mengapa? Karena kita berhak atas kota (right to the city).
Mengingat kota yang tumbuh bagai organ bernyawa, tak berlebihan menyebut kota yang bernyawa itu pun berhak atas kelangsungan hidupnya. Patut saya mengusung kota memiliki kedudukan hukum (legal standing) atas hak hidupnya.
Kiranya hasil rekapitulasi paparan, diskusi dan masukan dalam helat Rakortas ini menjadi haluan yang tulus untuk menjaga misi yang syarif dari The HUD Institute untuk tabah dan loyal membela hak-hak bertempat tinggal yang layak, terjangkau, untuk semua dan berkeadilan. Terbangun dalam kawasan perkotaan yang inklusif: kota untuk semua. Sebagai ikhtiar menjaga tata krama mandatory Negara kepada warga.
Menjaga agar tata krama tetap hidup, inilah pantun penutup. “Jika kapal muat sarat/ Jangan berlayar di musin barat/ Kalau salah kami berbuat/ Mohon maaf dunia akhirat”. Maaf atas sang khilaf. Ampon atas yang tak santon. Dari rumah negeri digenah. Tabik.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Joni, SH, MH.
Penulis adalah advokat perumahan rakyat, Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, anggota Badan Kajian Strategis DPP REI (2023 - 2027), Ketua bidang Hukum dan Advokasi DPP HIMPERRA), dan Sekjen PP IKA Universitas Sumatera Utara.
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News