RealEstat.id (Jakarta) – Pengembang properti mengeluhkan harga rumah subsidi yang belum juga disesuaikan sejak 2019 silam. Pengembang memahami harga rumah subsidi tidak juga dinaikkan saat pandemi, namun pasca pandemi seperti saat ini, kenaikan harga merupakan keharusan.
Pasalnya, saat ini banyak pengembang rumah subsidi yang megap-megap karena margin keuntungan yang tipis, masih harus dipergunakan untuk membayar pajak, bunga, gaji karyawan, dan lain-lain. Ujung-ujungnya, sebagian pengembang rumah subsidi memilih vakum, sebagian lagi bahkan dinyatakan gulung tikar.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Sumatera Utara, Andi Atmoko Panggabean meminta pemerintah membuka mata melihat kondisi ini. Pemerintah jangan abai terhadap permintaan kenaikan harga rumah subsidi yang disuarakan pengembang MBR.
Baca Juga: Harap-harap Cemas, Pengembang Masih Menunggu Kenaikan Harga Rumah Subsidi
"Sebelumnya, harga rumah subsidi ditetapkan naik 5% setiap tahun. Nah, ini sejak tahun 2019 belum juga naik," tukas Andi Atmoko Panggabean, di sela acara Buka Puasa Bersama Keluarga Besar REI, di Jakarta, Rabu (12/2/2023).
Lebih lanjut, dia bahkan menyinggung kebijakan Pemerintah yang justru memberi subsidi yang signifikan bagi kendaraan listrik.
“Kami sangat kecewa kepada Pemerintah yang memberikan subsidi untuk konsumen kendaraan listrik. Padahal kendaraan listrik bukan kebutuhan primer,” tukas Andi Atmoko Panggabean.
Menanggapi harmonisasi atas rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan harga jual rumah subsidi yang dirasa berlarut-larut, Andi Atmoko mengatakan Pemerintah seperti memberi janji palsu.
Baca Juga: Tips Renovasi Rumah Subsidi, Ini Aturan yang Harus Dipatuhi!
“Masalah harmonisasi sudah dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto lebih dari tiga bulan lalu, tetapi mengapa hingga saat ini belum juga tuntas? Yang kami inginkan cuma kepastikan kapan kebijakan kenaikan harga jual rumah subsidi bisa diterbitkan,” kata Moko, demikian dia akrab disapa.
Dia menegaskan, perumahan adalah tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR). Selain perumahan, Kementerian PUPR juga bertanggung jawab menangani infrastruktur dan pekerjaan umum lain.
Moko pun mempertanyakan rencana anggaran biaya (RAB) untuk pekerjaan konstruksi lain, seperti gedung bertingkat, infrastruktur jalan, jembatan dan lain-lain—yang berada di bawah kewenangan Kementerian PUPR—yang selalu mengalami kenaikan setiap tahun.
"Di sisi lain, harga jual rumah subsidi yang notabene berada di satu kementerian yang sama, tidak mendapat perlakuan yang sama. Kami developer merasa dianaktirikan oleh Kementerian PUPR. Padahal Kementerian PUPR merupakan tempat kita bernaung,” tegasnya.
Baca Juga: BP Tapera: 'Rumah Tapera' Harus Tepat Kualitas dan Tepat Sasaran
Pada kesempatan tersebut, Ketua DPD REI Kalimantan Selatan, Ahyat Sarbini mengatakan bahwa properti dan perumahan merupakan industri padat modal dan padat karya. Oleh karena itu, dia khawatir akan terjadi perlambatan penyediaan rumah subsidi bagi MBR, jika Pemerintah masih terus menunda kenaikan harga.
“Kami khawatir di daerah bakal terjadi stagnansi pembangunan hunian subsidi. Semula, kami mengusulkan besaran kenaikan harga rumah sebesar 7%. Tapi, informasinya besaran kenaikannya sekitar 5%, itu pun kami bisa terima, asalkan kenaikannya segera ditetapkan,” ujar Ahyat Sarbini.
Sementara itu, Ketua DPD REI Banten Roni Hardiriyanto Adali mengatakan, pemerintah jangan memberi harapan palsu dan harus menetapkan target waktu yang jelas bagi penyesuaian harga rumah bersubsidi.
"Saat ini margin profit pengembang rumah subsidi berkisar 10% - 15%, padahal sebelumnya bisa mencapai 20% - 25%. Jika margin turun di bawah 10%, maka bisa dipastikan pengembang tak akan mampu membangun rumah subsidi," kata Roni.
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News