Dinilai 'Nanggung', Perpanjangan Insentif PPN Cuma Dinikmati Pengembang Besar

Perpanjangan insentif PPN DTP untuk rumah siap huni (ready Stock) yang berlaku hingga Juni 2022 dianggap nanggung. Mengapa demikian?

Biaya dan pajak membeli rumah.
Biaya dan pajak membeli rumah.

RealEstat.id (Jakarta) - Pemerintah resmi memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk properti siap huni (ready stock). Insentif PPN Pembelian Rumah Baru disetujui Presiden Joko Widodo untuk diperpanjang hingga Juni 2022. Pemerintah berharap, penerapan insentif ini akan mendorong masyarakat membeli properti, khususnya rumah tapak di 2022.

Meski demikian, kebijakan baru ini mengatur pengurangan besaran diskon PPN sebesar 50%. Artinya, untuk rumah tapak (landed house) siap huni dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar, hanya akan diberikan insentif PPN DTP sebesar 50%. Sementara untuk rumah tapak dengan harga jual di atas Rp2 miliar hingga Rp5 miliar, akan mendapat insentif PPN DTP sebesar 25% dari semula 50%.

Baca Juga: Relaksasi PPN Efektif, Penjualan Rumah Ready Stock Naik 323,5%

Menanggapi keputusan tersebut, Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW) mengapresiasi perpanjangan insentif PPN DTP untuk menjaga tren pertumbuhan penjualan properti.

Kendati demikian, rentang waktu sampai Juni 2022 (hanya enam bulan) dirasakan 'nanggung' oleh para pelaku bisnis. Pasalnya, proses pembangunan rumah membutuhkan waktu lebih dari enam bulan.

"Karena itu, yang menikmati kebijakan ini terbatas pada pengembang yang sudah punya rumah ready stock. Sedangkan pengembang lain (yang tidak punya rumah siap huni) tidak bisa, karena mereka khawatir tidak mampu mengejar pembangunan (yang memakan waktu lebih dari enam bulan)," tutur Ali Tranghanda kepada RealEstat.id.

Baca Juga: Apa Pengaruh DP 0% dan Pembebasan PPN Terhadap Pasar Properti Tahun Ini?

Menurutnya, Pemerintah terkesan masih setengah hati dalam melanjutkan regulasi ini, karena sebelumnya tidak ada sinyal positif regulasi insentif PPN DTP akan diteruskan. Selain itu, seharusnya dibuat sekaligus satu tahun ke depan, jangan per enam bulan. Hal ini membuat pengembang sulit membuat strategi bisnis mereka.

"Selama belum ada keputusan (perpanjangan PPN DTP), semuanya tidak pasti. Dan selama belum ada keputusan, pengembang juga tidak banyak yang berani membangun—kecuali pengembang besar—karena terkendala modal," katanya.

Pemerintah tidak langsung memperpanjang insentif PPN DTP, imbuh Ali, kemungkinan karena melihat aturan ini tidak terlalu berpengaruh bagi pasar. Padahal, menurutnya, jika aturan ini dibuat langsung satu atau dua tahun, mungkin dampaknya akan sangat luar biasa.

Baca Juga: Relaksasi PPN Berpotensi Hambat Penjualan Rumah Inden, Kok Bisa?

Data IPW memperlihatkan, penjualan rumah ready stock hingga akhir 2020 (sebelum adanya insentif PPN DTP pada Maret 2021) hanya 3,7%. Namun, setelah insentif (akhir kuartal III 2021), persentase penjualan rumah ready stock naik menjadi 24,22%. Jika dibandingkan 2020, sebelum ada insentif, kenaikannyanya mencapai 379%.

Masih dari data IPW, pertumbuhan penjualan rumah ready stock secara kuartalan (QtQ) di 2021 memperlihatkan penurunan, di mana di Kuartal I 2021 naik 323,5%, di Kuartal II 2021 naik 84,8%, sementara di Kuartal II 2021 naik hanya 14% (Q3).

"Hal ini disebabkan pasokan rumah ready stock semakin menyusut. Oleh karena itu, banyak pihak megusulkan agar regulasi PPN DTP diperpanjang sampai setahun ke depan, sehingga pengembang yang menjual rumah indent bisa langsung membangun untuk menjadi ready stock. Hal itulah yang bisa membuat kebijakan ini optimal," pungkas Ali.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Rumah Khusus (Rusus) warga terdampak Banjir Lebak, Banten. (Foto: Kementerian PUPR)
Rumah Khusus (Rusus) warga terdampak Banjir Lebak, Banten. (Foto: Kementerian PUPR)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)