RealEstat.id (Jakarta) - Panta rhei! Everything flows. Undang-undang Cipta Kerja—dengan pembentukan bermetodekan Omnibus Law—riil sebagai perubahan hukum (law in change). Perubahan hukum merupakan keniscayaan. Hukum selalu dalam persimpangan antara stabilitas dan perubahan (stability and change). Pemikiran hukum acap ditantang merekonsiliasi antara kebutuhan stabilitas dengan kebutuhan perubahan. Lembaga (legal structure) adalah unsur sistem hukum.
Dari “belantara” hukum UU Cipta Kerja, legal structure baru yang dibentuk adalah badan percepatan penyelenggaraan perumahan—sementara, sebut saja BP3—yang sontak hadir sebagai satu “pohon” dari belantara UU Cipta Kerja. Beda dengan bank tanah yang lama menjadi wacana akademis dan praktis. Walaupun belum tentunya nama lembaganya BP3, karena kelembagaan itu dituliskan dalam huruf kecil. Bagaimana mencernanya? Memahami aturan/norma hukum badan percepatan penyelenggaraan perumahan, rujuklah sumber yang pertama, yakni UU Cipta Kerja.
Baca Juga: Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?
Badan tersebut dibentuk dengan latar untuk menjawab tumpang tindih dan stagnan bergeraknya norma UU. Politik hukumnya untuk efektifitas hukum. BP3 mesti efektif sebagai legal structure, tak hanya subtansi hukum (legal substance) saja, meminjam terori sistem hukum Lawrence Friedman. Dalam memori pembahasannya, BP3 itu solusi pembuat UU atas masalah tidak efektifnya ketentuan hunian berimbang versi Pasal 34-37 UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukinan (UU PKP).
Namun BP3 selanjutnya normanya berkembang dengan tugas dan fungsi lebih. BP3 untuk penyediaan rumah umum—yang layak dan terjangkau—bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Frasa-nya hanya rumah umum. Yang kemudian berkembang lebih luas lagi. Rupanya pembuat UU Cipta Kerja tak hanya membenahi kusut namun meluaskan tugasnya. Akankah itu otentik sebagai solusinya? Mari periksa bunyi lengkap tujuan dari BP3:
- mempercepat penyediaan perumahan rumah umum.
- menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh MBR.
- Menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum.
- Melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah umum dan rumah khusus.
Baca Juga: Walau Ada Omnibus Law, RUU Properti Masih Diperlukan, Lho!
Seiring pula BP3 diberikan fungsi “mempercepat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman”. Kiranya perlu indikator kunci, apa variabel percepatan? Hasil produksi fisik rumah atau upaya/proses menyejahterakan MBR? Agar tidak menjadi MBR selamanya. Percepatan tun hendak membangun sistem atau program, atau malah kegiatan/proyek saja? Opini ini sengaja menurunkan apa bunyi norma perihal tugas BP3:
- Melakukan upaya percepatan pembangunan perumahan.
- Melaksanakan pengelolaan dana konversi dan pembangunan rumah sederhana serta rumah susun umum;
- Melakukan kordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian;
- Melaksanakan penyediaan tanah bagi perumahan;
- Melaksanakan pengelolaan rumahsusun umum dan rumah susun khusus serta memfasilitasi penghunian, pengalihan, dan pemanfatan;
- Melaksanakan pengalihan kepemilikan rumah umum dengan kemudahan yang diberikan pemerintah;
- Menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
- Melakukan pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun denganberbagai instansi di dalam dan di luar negeri.
Dari bunyi norma ketentuan BP3 dalam UU Cipta Kerja yang semula muncul hanya untuk solusi hunian berimbang namun berkembang ke dalam tujuan, fungsi dan bahkan tugas yang melebar. Adakah perulangan? Walau absah sebagai mandatory UU Cipta Kerja, ajaran efektivitas hukum mensyaratkan institusi baru tidak tumpang tindih dalam hal wewenang, misalnya dengan Perpres Nomor 27/2020 yang mengatur Tupoksi Ditjen Perumahan.
Baca Juga: Aturan Bank Tanah untuk Perumahan Dalam Omnibus Law Belum Spesifik
BP3 jangan tumpang tindih dengan badan-badan lain, misalnya badan bank tanah—yang juga disahkan dalam UU Cipta Kerja, sebab ada satu tugas BP3 dalam hal penyediaan tanah. Juga cegah tertindihan dengan badan pengelola rusun (vide Pasal 56 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun). Bahkan lembaga Perum Perumnas dengan mandat berdasarkan Perpres Nomor 83 Tahun 2015, dan badan/lembaga yang diatur dalam Pasal 40 UU PKP juncto UU CK.
Namun jika membandingkan dengan Perpres Nomor 27 Tahun 2020, BP3 tidak mencakup tugas dalam hal kebijakan atau regulasi. Sehingga BP3 bukan regulator dan pembuat kebijakan. Namun, apa yang dimaksud kebijakan? Bukankah setiap badan/lembaga publik tak terhindarkan mengeluarkan kebijakan? BP3 itu tidak pula menyusun norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK)—yang eksplisit dalam Perpres Nomor 27 tahun 2020.
Sebab itu, BP3 tunduk pada kebijakan, regulasi dan NSPK Ditjen Perumahan—sebagai regulator, policy maker dan pembuat NSPK. Walaupun soal ini juga musti diseesuaikan dengan UU CK, karena NSPK dirumuskan pemerintah pusat, bentuknya hanya dua, bisa dengan PP atau Perpres. Bukan Permen (Peraturan Menteri).
Baca Juga: ATR/BPN: Ini 9 Poin Penting dalam RUU Cipta Kerja Cluster Pengadaan Tanah
Beberapa Isu Krusial
Majelis Pembaca, adanya badan baru pada Pemerintah pusat yang berbentuk BP3—yang paralel dengan Ditjen Perumahan dalam penyelenggaraan perumahan MBR, perlu dikritisi agar tidak mengalami masalah efektifitas. Karena soal legal structure, menurut postulat saya, bukan hanya harmonisasi normatif namun harmonisasi efektif.
Sekali lagi, defenisi kelembagaan adalah harmonisasi efektif! Dalam arti pasti, jelas, tidak ada kekosongan dan tidak tumpang tindih! Walau mungkin saja tupoksi kelembagaan akan saling berarisiran antara BP3 dengan badan bank tanah, dengan Ditjen Perumahan (Perpres Nomor 27/2020). Juga, Perum Perumnas (Perpres Nomor 83/2015), badan pengelola rusun (Pasal 56 UU Rusun). Harus segera melakukan harmonisasi efektif.
Soal lain, dalam pengaturan BP3 adanya pertukaran istilah antara perumahan sederhana dengan rumah umum. BP3—yang semula menjawab tidak efektifnya pembangunan perumahan dengan hunian berimbang dalam UU PKP—berkembang dan memasuki pengaturan rusun pada UU Rusun. Yang paling krusial adalah konsep konvesi “tanggung jawab” hunian berimbang ke bentuk dana, yang perlu cermat dan berkeadilan.
Baca Juga: UU Cipta Kerja: Seperti Diare Diobati dengan Paracetamol
Soal kelembagaan ini harus dirapikan dan pastikan dengan PP dan Perpres, dengan menyandingkan Tupoksi kelembagaan BP3, badan bank tanah, Ditjen Perumahan, Perum Perumnas, bahkan balai-balai perumahan yang ditugaskan pusat ke daerah. UU Cipta Kerja musti mampu menjadi “omnibus” legal structure, jangan malah kelebihan kelembagaan.
Selain itu, dengan UU Cipta Kerja dan badan-badan baru, segenap regulasi mesti turut di-review, diubah, dan disesuaikan. Termasuk RPP Rusun, PP 64/2016, Perpres No. 27/2020, Perpres No.83/2015, Permen PUPR tentang PPPSRS, dan Permen PUPR lainnya.
Mari membangun haluan baru pembangunan perumahan rakyat-cum-MBR. Pekerjaan belum selesai denan hanya membuat UU, katena UU harus dilaksanakan dalam ruang sosial, menjadi Law in Action. BP3, kemana air hendak cepat mengalir?
Muhammad Joni, Advokat, Managing Partner Joni & Tanamas Law Office. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.