RealEstat.id (Jakarta) - Menengok lagi anak-anak usia belia itu berlari-lari melewati 'Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung-Eks Bukit Duri', awak tersentak. Termagnit, belajar dari energi anak bahagia berlari.
Pada anak-anak berlari happy itu, ada pelajaran: "It takes a city to rise a child", butuh kota (yang layak) menumbuhkan anak. Kota yang kudu berubah, mengikuti tumbuh kembang anak.
Dalam diam saya berkeyakinan, stunting bukan takdir anak. Tak ada anak yang miskin. Homeless bukan takdir anak. Konstitusi negara kesejahteraan mendefenisikan anak dipelihara negara, yang bermakna semua anak sejahtera. Hanya saja masih soal krusial perihal keadilan sosial. Kampung Susun itu inovasi menjawab kemiskinan perumahan, solusi dalam perebutan ruang.
Baca Juga: Dari Kampung Susun: Jak Habitat-cum-Jak Transform, Bisa! (Bagian 1)
Tubuh mungil anak-anak itu tidak ontok diam, walau dalam gambar terlihat diam. Namun darahnya bergegas berkembang. Jiwanya progres, tidak stagnan, tumbuh berlari kepada transformasi, yang tak bisa dihalangi satuan waktu. Transformasi jiwanya tak terhalangi surat keputusan penggusuran. Kucing bernama 'Libi' saja paham.
Tumbuh kembang dan naluri perubahan anak mutlak tak bisa menunggu esok. Tapi sekarang. “Many think can wait. Children can not. To them we can not say tomorrow. Their name is today”, gubah penyair Gabriella Mistral, menamsilkan perubahan pada anak.
Selain 'Their name is today', tumbuh kembang anak adalah subyek pelajaran mahal perihal perubahan. Anak adalah hamoraon (kekayaan), dikenal luas sebagai Living Laws dalam kosa kata bahasa Batak.
Anak-anak hari ini, ialah pemimpin sekejap masa nanti. Mereka yang mengambil alih dan mengubah zaman hadapan. Agent of the next transformation.
Baca Juga: Dari Kampung Susun Produktif Tangguh: Anies Membangun Bukan Menggusur
Renungan saya, bahwa perubahan adalah niscaya, hal yang naluriah sekaligus hak alamiah anak. Bahkan perubahan sangat cepat, tak bisa diinterupsi, lebih cepat dari perubahan fisik kota yang cenderung degeneratif: menua. Namun anak tidak, transformasi ke dewasa semakin berharga: hamoraon.
Bagi anak, tak hanya hak hidup (rights to life) dan hak kelangsungan hidup (rights to survival). Anak berhak atas tumbuh kembang (rights to development), dan hak atas partisipasi (rights to participation). Itu empat kelompok besar hak anak versi Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN's Convention on the Rights of the Child). Izinkan saya menambahkan hak anak atas perubahan.
Serupa halnya dengan kebutuhan atas hunian sebagai hak atas perumahan—yang layak dan terjangkau—namun tidak hanya melekat pada dua rukun perumahan rakyat itu. Ijinkan saya mengimbuhkan rukun tambahan: housing in transforming. Karena soalan perumahan melekat dan mosaik utama pembentuk kota, maka saya menyebutnya dengan housing and urban transformation (disingkat "HUT").
Kiranya, isu HUT itu melakukan refleksi dan transformasi atas sistem kelembagaan penyelenggaraan perumahan rakyat—sebagai hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945—yang masih labil. Di tarik ke sana kemari. Pernah dibubarkan. Dieksiskan lagi kementeriannya, dan begitu mudah digabungkan.
Baca Juga: Beleid Rumah Sehat Jakarta, Menjejakkan Kota Bahagia
Juga, kua normatif (UU) seakan "strata" urusan/bidang yang lebih rendah daripada urusan/bidang alias sektor tertentu, misalnya: kesehatan, sosial, pendidikan—yang juga bunyi dalam konstitusi.
Ada bias dalam menakrifkan makna konstitusi bertempat tinggal ke dalam kelembagaan. Hak konstitusi itu musti direkonstruksi: takrif dan kelembagaannya.
Dari titik itu, penting perubahan mengatasi soalan perumahan rakyat, yang kompleks: masih jumbo statistik defisit rumah (backlog), yang belum tuntas diatasi walau nyaris 10 tahun dalam penggabungan.
Buktinya, angka backlog 12,7 juta sementara ini tidak akan mampu dicapai, kalau hanya menggunakan APBN saja dan tidak mungkin bisa terkejar secara cepat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam side event G20 bertema ‘Securitization Summit 2022’. Padahal, hybrid dengan kementerian yang APBN-nya besar.
Baca Juga: Alarm Keras Sri Mulyani: Waspadai Darurat Pembiayaan Perumahan Rakyat
Pun, tatkala sampai titik kulminasi kiprah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dari dana APBN bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)—yang berubah menjadi/kepada BP Tapera, kini—namun 12,7 juta angka backlog itu masih tinggi, lho. Belum lagi pertambahan 700 ribu hingga 800 ribu rumah tangga baru yang butuh hunian baru.
Sebabnya? Karena pembangunan masih dilakukan dengan skim jual-beli dan memasuki pasar perumahan, dan karena itu berlaku kaidah komersial. Walau Pemerintah memberikan subsidi bantuan dan kemudahan sahaja. Namun masih dibatasi alokasi, kuota, dan fiskal terbatas. Ruang fiskal pun subsidi pembiayaan perumahan rakyat/MBR dalam APBN dari masa ke masa kita masih ukuran minimalis, jika dibanding negeri jiran sekawasan.
Idemditto, skim BP Tapera—yang mengaku berasas gotong royong dengan sumber dana dari pemberi pekerja dan kerja—ya, mirip FLPP juga.
Mengapa perumahan MBR tidak dibangun badan pemerintah dan perangkat badan usaha milik daerah, sebagaimana ‘Jak Habitat’. Saya membatin, namun jiwa saya berlari, seperti anak-anak yang bertubuh ceria itu, kiranya ‘Jak Habitat’ kudu berubah menjadi ‘Ina Habitat’. Kelembagaan perumahan rakyat perlu direkonstruksi.
Baca Juga: Jakarta Happy City: Jargon 'Kota untuk Semua' yang Sahih dan Terbukti
Patut dan absah, jika perumahan rakyat digugah terus berubah. Menjadi housing in transforming. Tidak hanya melakoni penyediaan perumahan: program sejuta rumah sahaja. Mustinya program strategis nasional, bisa!
Apalagi urusan konkuren perumahan rakyat dibawa ke sana ke mari, dalam berbagai rezim UU Pemerintahan Daerah, dan dinihilkan sebagai urusan konkuren daerah dalam Lampiran Huruf D UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).
Sebab itu, perlu pikiran-pikiran baru yang terbuka, out of the box in the boxes, belia, segar dan wangi dari pengapnya hawa sektoralitas. Juga, menghargai warna warni kearifan lokal dan bekal/modal lokal, namun teruji dan terpuji dalam aplikasi lapangan alias workable.
Perlu rekonstruksi kelembagaan yang mampu menjadi dirijen antar sektor, sebab masih adanya gap antara isu penyediaan dengan pembiayaan. Antara penyediaan dengan kelembagaan (Badan Percepatan Pembangunan Perumahan/BP3). Antara pembangunan dari urusan pusat dengan urusan konkuren Pemda.
Baca Juga: Catatan AniesPrudence: Berani Bela yang Lemah, Anies Perluas PBB Gratis!
Tentu saja, antara penyediaan/ pembangunan dengan pertanahan. Antara pembangunan dengan perlindungan konsumen dan pemberdayaan MBR. Antara menyasar MBR formal dengan MBR non formal dan pekerja mandiri.
Tersebab itu, perubahan ikhwal perumahan rakyat bukan mimpi buruk namun keniscayaan, seperti anak-anak yang bertumbuh dewasa. Perubahan yang pasti datang, mutlak tak bisa ditolak. Menjadi hamoraon.
Hari kemarin lebih singkat daripada hari esok yang lebih panjang. Perubahan yang zaman berzaman, mengapa tidak? Jak Transform, banyak pelajaran inovasi dan perubahan. Bukankah begitu, Libi?
Tabik!
(Bersambung)
Muhammad Joni, SH, MH, Warga Jakarta, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Ketua Korsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera), Deputi Advokasi Alinsan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.