RealEstat.id (Jakarta) - Kebutuhan untuk mengatur ruang atas dan ruang bawah tanah merupakan keniscayaan karena saat ini pemanfaatan ruang tersebut semakin hari semakin meningkat.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Oloan Sitorus menjelaskan, hal ini tidak hanya terjadi di Ibukota Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain, seperti Makassar.
"Peruntukannya tentu saja untuk transportasi serta kebutuhan bisnis," jelas Oloan Sitorus, dalam diskusi daring bertajuk "Kajian Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah dan Ruang Atas Tanah" yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kementerian ATR/BPN, Rabu (24/6/2020).
Menurutnya, dalam RUU Pertanahan yang lalu serta draft RUU Cipta Kerja, yang sedang dibahas di DPR RI bersama pemerintah, sudah mengatur mengenai ruang bawah tanah tersebut.
"Dalam RUU Pertanahan kemarin sudah diatur hak guna ruang atas dan bawah tanah, pun juga dalam RUU Cipta Kerja. Kiranya kajian pada hari ini dapat memperkuat muatan yang terkait hak ruang atas dan bawah tanah itu dalam RUU Cipta Kerja. Selain itu, kita perlu mengikuti kajian ini agar dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang produktif," kata Oloan Sitorus seperti dinukil dari siaran pers yang dirilis Kementerian ATR/BPN.
Harus Dibentuk Lembaga Hukum Baru
Sementara itu dalam pemaparannya, Trie Sakti, Peneliti Ahli Madya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian ATR/BPN mengatakan bahwa kebutuhan atas pengaturan hak ruang atas dan bawah tanah karena meningkatnya kegiatan pembangunan dan aspek penyediaan tanah sebagai salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.
"Kendala dalam ketersediaan tanah maka dilakukan pembangunan secara vertikal, untuk perumahan gencar dibangun rumah susun dan apartemen, sedang untuk transportasi juga dibangun LRT secara masif serta pembangunan MRT," kata Trie Sakti.
Terkait adanya pemanfaatan ruang bawah tanah, Trie Sakti mengungkapkan, menurut Boedi Harsono—Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan penasihat Menteri ATR/BPN—harus dibentuk lembaga hukum baru dengan sebutan Hak Guna Ruang Atas Tanah dan Bawah Tanah.
"Lembaga baru ini nantinya kita sebut Hak Guna Ruang Bawah Tanah (HGRBT), yang nantinya memberikan wewenang pada pemegang hak untuk memiliki dan membangun dalam tubuh bumi tertentu, berupa ruang berdimensi tiga serta menggunakan bagian permukaan bumi tertentu di atasnya sebagai jalan masuk dan keluar bangunan yang bersangkutan," ujar Trie Sakti.
Beberapa Poin Penting
Penanggap pada kajian ini, Maharani, Widyaiswara Ahli Utama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) memberikan catatan terhadap pendapat Boedi Harsono tersebut. Menurutnya, ada tiga hal yang belum bisa jalan sekarang, menunggu lembaga hukum baru serta memberikan tiga hak atas tanah terhadap pemanfaatan ruang bawah tanah, yaitu hak atas permukaan bumi sebagai tempat tiang pancang/membuat lorong masuk, hak atas pemilikan bangunan di bawah tanah atau di atas tanah, serta hak memakai ruang selongsongannya.
Pada kesempatan ini Maharani juga mengungkapkan beberapa poin penting di antaranya: Pertama, Hak Atas Tanah yang ada saat ini hanya mengatur hak atas permukaan bumi yang dua dimensi saja.
Kedua, ruang bawah tanah berupa fungsi apapun dalam sistem pemilikan rumah susun, bukan merupakan hak guna ruang bawah tanah, karena merupakan milik bersama para pemilik satuan rumah susun.
Ketiga, Hak Guna Ruang Bawah Tanah adalah hak yang diberikan kepada pihak lain, yang bukan pemegang hak atas tanah yang berada diatasnya (pemiliknya berbeda).
Keempat, Hak Guna Ruang Atas Tanah adalah hak yang diberikan kepada pihak lain, yang bukan pemegang hak atas tanah yang berada di bawahnya (pemiliknya berbeda).