RealEstat.id (Jakarta) - Alam Nusantara yang indah menjadi objek yang menarik untuk dikembangkan sebagai area wisata modern, tanpa terlepas dari keunikan atau kekhasan daerah masing-masing. Hal inilah yang diangkat dalam seminar daring bertajuk 'Arsitektur Resort & Leisure' yang digelar Kamis (20/5/2021).
Webinar yang diselenggarakan Kenari Djaja dan Majalah Asrinesia ini merupakan pengejawantahan komitmen keduanya dalam perkembangan arsitektur, desain interior, dan lingkungan. Demikian penuturan Hendry Sjarifudin, Direktur PT Kenari Djaja Prima, saat membuka kegiatan seminar.
Pada seminar kali ini, dihadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya masing-masing, yakni Eliezer Widagdo, arsitek lulusan Universitas Tarumanagara yang mengkhususkan diri pada desain leisure park; Arsitek Lanskap Universitas Trisakti, Bintang Nugroho; dan Arsitek Universitas Udayana Popo Danes, yang banyak membangun resor di Pulau Dewata.
Baca Juga: Arsitektur Instalasi Bambu: Beragam Gaya, Ramah Lingkungan, dan Tahan Lama
Seminar untuk menggali inspirasi dari pengalaman para Narasumber, dipandu oleh Moderator Dini Rosmalia, Kaprodi Arsitektur Universitas Pancasila. Seminar online ini diikuti oleh sekitar 500 peserta, yang terdiri dari para profesional, mahasiswa jurusan arsitektur, desain interior dan lanskap arsitektur, serta pengelola kawasan dan masyarakat umum bisa berinovasi mengembangkan potensi wisata di daerahnya.
Menurut Dini, kesibukan kegiatan di perkotaan menginspirasi para ahli perencana fasilitas lingkungan untuk menciptakan berbagai kelengkapan rekreasi dan peristirahatan yang memanfaatkan keindahan serta potensi alam di daerah yang menjadi nilai tambah bagi destinasi wisata dan menarik kaum milenial.
"Bermain dengan panorama dan karakter alam merupakan keunikan yang disukai para Arsitek dalam berkarya di bidang Resort & Leisure yang akan memiliki keistimewaan, daya tarik dan menyenangkan," tuturnya.
Leisure Park: Sebuah Evolusi
Pada pemaparannya, Eliezer Widagdo menjelaskan, bagaimana sebuah desain leisure park lahir. Menurutnya, ada lima tahap proses desain yang harus dilalui. Pertama, tentu saja mendapatkan order dari klien. Kedua, proses kepustakaan (library), yakni dengan mencari referensi dan melakukan survei.
"Saat ini referensi desain bisa dilakukan secara daring, melalui situs pencarian atau media sosial. Sementara, survei harus dilakukan secara langsung," kata Direktur PT Efata Anugerah Hawila ini.
Baca Juga: Seperti Apa Rumah dan Lingkungan Ideal di Mata Para Arsitek?
Ketiga, melakukan site study di lokasi pengembangan (bisa berupa pantai, gunung, tebing, air terjun, hutan, dan lain-lain). Keempat, membuat konsep desain dengan beragam aplikasi: CAD/Sketchup, 3D Max, Animasi, dan lain-lain. Kelima, imbuh Eliezer, adalah balance, yaitu melakukan feasibility study dan menyesuakan dengan bujet pembangunan.
Lebih lanjut, Eliezer menuturkan, konsep leisure park merupakan evolusi dari theme park dan water park yang pasarnya cenderung menurun, terutama setelah masa pandemi.
"Kelebihan leisure park antara lain: pangsa pasar luas dan didominasi family (keluarga), bisa beroperasi setiap hari, dan harga tiket terjangkau. Bandingkan dengan theme park yang memiliki biaya operasional tinggi, karena wahana permainan harus aman—sehingga mesti diimpor dari Eropa. Sementara itu, water park tak bisa beroperasi sepanjang tahun, karena lokasinya outdoor. Pangsa pasarnya juga lebih banyak anak-anak, dengan harga tiket yang lebih tinggi," jelas Eliezer panjang lebar.
Tiga Jenis Lanskap
Sementara itu, Bintang Nugroho memaparkan, resort dan leisure merupakan fasilitas bersantai, rekreasi, wisata yang dinikmati sendiri atau bersama keluarga dan teman. Harapannya, sepulang dari kegiatan tersebut, pengunjung akan merasa terpuaskan, bersemangat, sehat fisik dan mental.
“Resort dan leisure adalah bagian hospitality industry, yakni kegiatan usaha untuk menyenangkan tamu. Dengan fasilitas yang memadai dan program yang baik, tentu para tamu akan terpuaskan,” katanya.
Baca Juga: Adaptasi Arsitektur Hijau Pada Bangunan dan Lingkungan Perkotaan
Dia mengatakan, kawasan resor dapat dibangun dengan fasilitas rekreasi yang nyaman dan atraktif, dengan tetap menjaga karakter lingkungan dan lanskap di sekitarnya. Habitat tanaman yang tumbuh di pegunungan, hutan dan lembah, harus bisa dikolaborasikan dalam desain arsitektur lanskap kawasan sebagai elemen daya tarik resor.
Bintang membagi lanskap kawasan resor menjadi tiga: lanskap makro, mezzo, dan mikro. Lanskap makro adalah bentang alam yang jaih, besar, tapi tampak jelas. Contoh: langit dan semua benda langit, gunung, bukit, hutan, dan laut.
Lanskap mezzo adalah lanskap skala kawasan yang sebagian bisa dinikmati. Contoh: pepohonan, rerumpytan, semak perdu, jalan setapak, bangunan, dan taman. Sementara lanskap mikro berada di area private, seperti taman, street furnitur, dan art-scape.
Karya Arsitektur 'Genuine'
Pada kesempatan yang sama, Arsitek Popo Danes berbagi pengalaman dan informasi sehingga karya-karyanya diminati banyak orang, termasuk wisatawan mancanegara dan memenangi sejumlah penghargaan.
Terkait arsitektur Bali, imbuhnya, Pulau Dewata beruntung memiliki warisan arsitektur luar biasa yang terjaga dan berkarakter, serta banyak dimunculkan lewat bangunan peribadatan.
Baca Juga: Arsitektur Tradisional Bali: Antara Seni, Filosofi, dan Modernisasi
Sementara itu, pariwisata di Bali pertama kali dimulai perusahaan pelayaran Belanda yang pada tahun 1920 membawa turis ke Bali. Wisata inilah yang kemudian membuat hotel pertama di Bali, Bali Hotel, dibangun pada 2015.
Pemilik nama lengkap Nyoman Popo Proyatna Danes ini juga menyoal kendala pembangunan resort & leisure. Terkadang memang dia menemukan lokasi site yang sulit. Kendati demikian, lokasi yang sulit tersebut menjadi tantangan tersendiri baginya, bahkan dapat membuat desain arsitektur yang lahir terlihat genuine/original.
"Arsitektur yang dirancang dalam balutan keindahan budaya dan tradisi setempat, merupakan faktor penting dalam membangun fasilitas resort & leisure," pungkasnya.